Memang cukup banyak tragedi perang yang sudah terjadi di masa lalu. Seperti halnya perang shiffin yang konon terjadi tepatnya 657 M.  Saat itu Ustman bin Affan memang terbubuh sehingga masuk dalam sejarah islam. Kasus pembunuhan tersebut bisa terjadi karena ketidakpuasaan kaum muslim ditandai pula dengan retaknya sebuah persatuan yang berada di antara umat muslim. Hal ini pastinya bisa kita saksikan dari tiadanya stabilisasi politik seusai meninggalnya Utsman.

Pasca terbunuhnya Utsman ini ternyata sudah muncul permasalahan baru yang terjadi antara dua tokoh kuat umat muslim yakni Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Seusai perang akhirnya Ali dan Jamal dibajat oleh mereka kaum Muhajirin dan Anshar. Ali pun berencana untuk memindahkan kursi kekhalifahannya dari kota Madinah menuju ke Kufa. Ia pun mengirimkan gubernur yang baru dimana gubernur tersebut di nilai satu pemikiran dengannya. Hanya saja diantara gubernur tersebut masih ada yang memberikan penolakan yakni Muawiyah ibn Abu Sofyan.

Muawiyah ini memang seorang politikus yang begitu licik bahkan memiliki ambisi yang cukup besar. Perangainya yang terbilang tidak segan mengelurkan harta sekaligus terbilang lemahlembut ini mampu membuat politikus semakin disegani. Saat Ali telah mengutus Jarir bin Abdullah dengan menyerahkan sebuah surat pada Muawiyah akhirnya ia mengumpulkan Amr bin al-Ash sekaligus tokoh lainnya untuk bermusyawarah bersama. Ketika sudah bermusyawarah, akhirnya mereka mengambil keputusan untuk menolak bebaiat kepada Ali. Hingga akhirnya seorang pembunuh Ustman pun berhasil ditumpas. Apabila ia tidak mampu memenuhi permintaan maka mereka pun bakalan menolak berbait terhadapnya sampai mereka berhasil untuk menghabisi semua pembunuh Ustman tanpa ada yang tersisa.

selengkapnya baca juga resep makanan untuk menu harian anda.

Ketika itu Jarir pun pulang dan berencana untuk menemui Ali bahkan mereka berencana pula untuk menceritakan sebuah keputusan Muawiyah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib saat itu sudah merespin sebuah ancaman dari Muawiyah kemudian berangkat dari Kufah hingga akhirnya memiliki tujuan mampu menduduki Syam. Bahkan ia pun sudah mempersiapkan pasukannya di Nukailah serta menunjuk Abu Mas’ud Uqbah bin Amru yang berlaku sebagai amir sementara saat berada di Kufah.

Saat berita mengenai keberangkatan pasukan Ali ini sudah sampai pada Muawiyah, ia pun akan segera bermusyawarah bersama Amr bin Ash yang telah menganjurkan Muawiyah guna keluar bersama para pasukannya. Amr kala itu sudah berpidato dihadapan semua penduduk Syam jika penduduk Bashrah sekaligus Kufah sudah musnal ketika perang Jamal terjadi. Akhirnya ia pun menuliskan sebuah pesan untuk semua pasukannya di Syam jika dalam kurun waktu yang singkat ternyata mereka telah berkumpul bahkan mengangkat panji bagi amir mereka masing-masing.

Pada saat itu kedua kubu memang saling berhadapan tepatnya pada bulan Juli 657 M di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Ketika mereka sudah sampai di Shiffin tentunya kedua pasukan tersebut sudah saling berebut untuk memperoleh sumber air. Hingga akhirnya timbul konfrontasi kecil. Ali selama kurang lebih 2 hari lamanya memilih berdiam diri tanpa mengirimkan sebuah surat kepada Muawiyah. Hingga akhirnya Muawiyah pun juga melakukan hal sama. Dari sini Ali mengirimkan utusan kepadanya hanya saja kesepakatan antara keduanya belum juga didapatkan. Muawiyah masih saja memberikan tuntutan terkait dengan darah pembunuh Utsman. Saat terjadi sebuah kebuntuan maka pertempuran pun kini tak mampu terhindarkan. Dalam sebuah perang Shiffin yang terjadi pada tanggal 28 Juli 657 M, pasukan Ali memang di pimpin oleh Malik al-Asyar . Kala itu mereka hampir saja meraih kemenangan saat Amr ibn al Ash dengan kelicikannya melancarkan siasat yang mereka miliki. Bahkan ia pun juga memberikan perintah kepada pasukan Muawiyah supaya mampu melekatkan salinan al-Quran pada ujung tombak sekaligus mengangkatnya. Hal ini tak lain untuk memberikan tanda jika perang diakhiri.

Saat tombak-tombak sudah  berhasil diangkat oleh Muawiyah, tentara Ali pun kini tidak mampu lagi melakukan penyerangan. Padahal mereka hampir saja meraih sebuah kemenangan. Ali pun juga beranggapan jika hal itu hanyalah tipu daya yang sengaja direncanakan oleh musuh. Ia akhirnya menyerukan untuk terus merebut apa yang menjadi haknya tentu saja dengan memerangi para musuh mereka. Awalnya Ali kala itu berkeinginan meneruskan sebuah peperangan hanya saja suara dari para pengikutnya justru membuat suasana semakin pecah.

Hingga akhirnya sebagian dari mereka memilih tidak ingin berperang lagi, jadi Ali pun kini terpaksa menghentikan perang Shiffin dengan hati yang begitu kesal. Pada akhirnya konflik yang sudah terjadi antara keduanya ini berakhir dengan jalur perundingan.

Mempelajari tentang bab peperangan memang penting sekali dimana anda lebih memahami bagaimana perang itu terjadi. Hingga akhirnya apakah hasil dari peperangan tersebut. Tak banyak yang berakhir dengan jalur perundingan seperti halnya perang Shiffin ini. Semoga saja dengan pembahasan di atas memudahkan anda memahami bab perang Shiffin. Mempelajari tentang banyak hal memang penting sekali terlebih jika menyangkut soal peperangan.

Share:

Kareem Rijal

Penulis Negeri di Atas Air, mewarnai langit Nusantara. Membasahi dataran Cinta terlarang.